Membedah Kompleksitas Teori dalam Ranah Disertasi Doktor : Menumbangkan Teori, Membangun Gagasan: Jalan Filsafati Menuju Invention dalam Disertasi Doktoral.

“Sains tidak bergerak menuju kebenaran, melainkan menuju pembenaran” Oleh: Hengki Tamando Sihotang

Membedah Kompleksitas Teori dalam Ranah Disertasi Doktor : Menumbangkan Teori, Membangun Gagasan: Jalan Filsafati Menuju Invention dalam Disertasi Doktoral.
Membedah Kompleksitas Teori dalam Ranah Disertasi Doktor : Menumbangkan Teori, Membangun Gagasan: Jalan Filsafati Menuju Invention dalam Disertasi Doktoral.

“Sains tidak bergerak menuju kebenaran, melainkan menuju pembenaran”

Ditulis: Hengki Tamando Sihotang

Disertasi akan memiliki bobot ilmiah yang sangat tinggi jika keberadaannya mampu menghantam, merusak, bahkan menumbangkan teori yang telah mapan sebelumnya. Ukuran kekuatan akademik di level tertinggi bukan sekadar terletak pada kemampuan mengutip dan menjabarkan gagasan orang lain, melainkan pada kapasitas intelektual seorang peneliti untuk menggugat, mempertanyakan, dan melampaui apa yang sudah dianggap sah dan mapan. Inilah esensi dari pencapaian ilmiah pada jenjang doktoral—menjadi penemu, bukan sekadar pengikut. Ketika seorang kandidat doktor berhasil menunjukkan kelemahan dalam fondasi suatu teori, menguraikan celah-celah dalam landasan epistemiknya, dan membangun landasan baru yang lebih utuh, maka ia tidak hanya menulis disertasi, tetapi juga mengukir tonggak sejarah dalam ilmu pengetahuan.

S3 bukan wilayah pengulangan, bukan pula ruang nyaman bagi para penghafal metodologi dan pengulang narasi. Ia adalah medan pertempuran gagasan, ruang tak berujung dari perdebatan konseptual, laboratorium eksperimentasi intelektual. Pada level ini, mahasiswa doktoral tidak lagi dibimbing hanya untuk menjawab pertanyaan, tetapi ditantang untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Temuan atau invention adalah panggilan akademik utama dalam jenjang ini. Dan untuk menemukan, dibutuhkan pemahaman mendalam atas bidang yang digeluti. Bukan semata mendalam secara teknis, melainkan juga mendalam secara filosofis. Inilah titik di mana pemahaman atas teori bukan hanya menyentuh pada aspek "apa" dan "bagaimana", melainkan telah menjangkau dimensi "mengapa", bahkan "apa makna dari semua ini".

Untuk mencapai tahapan tersebut, mahasiswa doktoral harus menumbuhkan wawasan yang tidak hanya luas, tetapi juga terpadu. Ia harus mampu melihat keterkaitan bidang ilmunya dengan berbagai dimensi kehidupan manusia. Sebab, pada hakikatnya, setiap ilmu bukan berdiri sendiri secara terpisah-pisah, melainkan saling terhubung dalam jejaring kompleks dinamika sosial, budaya, politik, sejarah, dan bahkan spiritualitas manusia. Oleh karena itu, memahami suatu bidang dalam konteks S3, berarti memahami bagaimana bidang tersebut berdialog dengan kehidupan manusia secara utuh. Pemikiran-pemikiran besar dari para ilmuwan terdahulu lahir dari perenungan panjang atas realitas manusia itu sendiri. Maka tak heran, ilmu pengetahuan di level S3 telah bersentuhan erat dengan filsafat. Di sanalah tempat pertemuan antara logika, ontologi, dan epistemologi.

Pendekatan utama dalam menghasilkan temuan ilmiah yang kuat adalah pendekatan diakronik dan sinkronik. Kedua pendekatan ini bukan hanya metode, melainkan cara pandang terhadap realitas ilmu. Pendekatan diakronik memungkinkan seorang peneliti memahami perjalanan suatu gagasan dalam kurun waktu. Ia menelusuri jejak sejarah pemikiran, membedah evolusi teori, melihat bagaimana suatu ide bertahan atau berubah di tengah pergeseran zaman. Dengan cara ini, kita belajar bahwa tidak ada teori yang lahir dalam ruang hampa; setiap teori adalah anak zaman yang menyerap konteks sosial, politik, dan kebudayaan tempat ia lahir. Maka dari itu, penting bagi seorang calon doktor untuk tidak hanya membaca referensi yang terbaru, tetapi juga menengok ulang fondasi sejarah dari setiap konsep yang ia gunakan. Pemahaman historis memberi kedalaman, dan dari kedalaman itulah gagasan baru bisa dibangun dengan lebih kokoh.

Di sisi lain, pendekatan sinkronik memberikan kita lensa sistematis untuk memahami bagaimana suatu fenomena bekerja dalam satu titik waktu yang sama, secara terstruktur dan menyeluruh. Ia membantu kita melihat bagaimana unsur-unsur dalam suatu sistem saling berinteraksi, bagaimana logika internal suatu teori dibangun, dan bagaimana hubungan antar elemen bekerja secara simultan. Pendekatan ini menuntut kemampuan analisis yang tajam dan daya sintesis yang tinggi, karena peneliti dihadapkan pada keharusan untuk tidak hanya memahami bagian-bagian kecil, tetapi juga bagaimana bagian-bagian itu membentuk satu kesatuan makna. Dengan demikian, pendekatan diakronik dan sinkronik saling melengkapi. Diakronik memberi kita pemahaman kedalaman waktu, sedangkan sinkronik mengajarkan kita tentang struktur dan sistem. Dari dua pendekatan inilah, seorang ilmuwan mampu menghasilkan temuan yang tidak hanya baru, tetapi juga relevan, sahih, dan bermakna.

Namun, perlu disadari bahwa dalam dunia ilmu pengetahuan, tidak ada teori yang benar secara mutlak. Sains tidak bergerak menuju kebenaran, melainkan menuju pembenaran. Artinya, setiap teori bekerja dalam kerangka logika yang ia bangun sendiri. Ia membenarkan dirinya dalam sistem kepercayaannya sendiri. Ketika suatu teori lahir, ia membawa serta seperangkat asumsi dasar yang akan menopang seluruh argumennya. Asumsi-asumsi ini, jika tidak digugat, akan menjadikan teori tersebut tampak kokoh. Padahal, dalam banyak kasus, asumsi-asumsi inilah yang sering kali menjadi titik lemahnya. Maka tugas peneliti doktoral adalah mengungkap, mengurai, dan jika perlu, membongkar asumsi tersebut untuk membuka ruang bagi pendekatan yang lebih akurat, kontekstual, dan manusiawi.

Itulah sebabnya, karya-karya akademik yang besar sering kali memunculkan teori-teori yang ambigu. Ambiguitas di sini bukanlah kelemahan, melainkan strategi epistemik. Banyak ilmuwan besar secara sengaja merumuskan teori dalam struktur yang kompleks dan kadang terbuka untuk interpretasi ganda, agar teori tersebut tidak mudah disangkal. Ambiguitas ini adalah bentuk proteksi ilmiah terhadap serangan-serangan masa depan. Ia memberi ruang bagi pengembangan lebih lanjut, memperpanjang umur teori, sekaligus memancing perdebatan yang produktif. Salah satu contoh nyata dari strategi ini adalah lahirnya teori kemungkinan, yang tidak menyatakan sesuatu secara absolut, melainkan dalam rentang probabilitas. Teori ini mengakui keterbatasan kepastian ilmiah, dan justru dari sanalah ia memperoleh kekuatan filosofisnya.

Dalam konteks ini, ilmuwan doktoral ditantang untuk tidak takut terhadap ambiguitas. Sebaliknya, mereka harus mampu memanfaatkan ambiguitas sebagai alat untuk menggali kebenaran yang lebih dalam. Sebuah teori yang hebat bukanlah yang menutup perdebatan, melainkan yang membuka medan wacana baru. Ia bukan akhir, melainkan awal dari eksplorasi panjang. Di sinilah peran filsafat menjadi penting. Filsafat membantu kita menyadari bahwa kebenaran bukanlah benda mati yang bisa dimiliki, melainkan proses hidup yang harus terus diperjuangkan. Dalam ruang filsafat, ilmu tidak lagi dipandang sebagai akumulasi fakta, melainkan sebagai pencarian makna. Maka tugas seorang peneliti bukan hanya menemukan sesuatu yang baru, tetapi juga memberi makna baru bagi apa yang telah ada.

Karya ilmiah yang berbobot tinggi bukanlah yang penuh dengan kutipan, melainkan yang mampu memunculkan sintesis baru. Bukan pula yang bersembunyi di balik metodologi, tetapi yang berani mempertaruhkan gagasan secara telanjang. Sebuah disertasi sejati adalah karya yang mengguncang, menggugat, dan memberi arah baru. Untuk mencapai itu, dibutuhkan keberanian intelektual yang luar biasa. Dibutuhkan keberanian untuk berkata: teori ini salah, dan saya punya alternatifnya. Dibutuhkan ketajaman untuk menunjukkan mengapa teori lama tidak lagi relevan, dan bagaimana teori baru dapat memberi penjelasan yang lebih akurat terhadap realitas yang terus berubah. Inilah yang membuat disertasi menjadi lebih dari sekadar tugas akademik. Ia adalah manifestasi dari keberanian berpikir, bukti dari kedewasaan intelektual, dan jejak dari perjalanan filosofis seorang pencari makna.

Pada akhirnya, dunia akademik membutuhkan lebih banyak pemikir daripada pengikut. Ia membutuhkan lebih banyak penggugat daripada penghafal. Ia membutuhkan mereka yang mampu berdiri di atas keraguan, bukan yang bersembunyi di balik dogma. Maka jika Anda sedang menempuh jenjang doktoral, jadikan disertasi Anda sebagai medan pertempuran, bukan taman bermain. Jangan takut untuk meruntuhkan teori, karena dalam keruntuhan itulah Anda membuka jalan bagi kebangkitan pengetahuan yang lebih tinggi. Jangan gentar untuk menciptakan ambiguitas, karena dari situlah akan lahir tafsir-tafsir baru yang memperkaya ilmu. Dan jangan pernah berhenti mencari, sebab dalam pencarian itulah sejatinya ilmu pengetahuan memperoleh ruhnya.

 

Profil Penulis:

Dr. Hengki Tamando Sihotang, M.Kom

Institute of Computer Science (IOCS)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow